Senin, 02 Januari 2012

Tentang Cinta

Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu. Masih terekam jelas memori masa kecil yang seolah-olah baru terjadi kemarin, namun sekarang aku telah memasuki usia dewasa. Kadang, aku masih suka tersenyum sendiri jika ingat masa-masa remaja yang nakal. Waktu masih berseragam abu-abu putih, aku adalah seorang cowok yang sering dikerubuti teman-teman cewek. Mereka suka mengejar kemanapun aku pergi. Bukan karena jadi idola, tapi karena mereka sepakat ingin menuntut balas atas perilaku usilku yang suka mencolek pinggang mereka dari belakang. Walhasil, kepalaku sering jadi sasaran jitakan mereka. Ah, malu rasanya jika ingat masa-masa remaja yang nakal itu. Tapi alhamdulillah, saat ini aku telah mendapatkan sedikit hidayah dari Allah. Aku telah sedikit mengenal-Nya dan akan terus berusaha mengenal-Nya. Sekuat tenaga, setiap langkahku kuusahakan berada dalam jalan yang digariskan-Nya. Dia-lah yang telah memberiku umur hingga saat ini yang telah melewati seperempat abad. Dan, dua minggu lagi aku akan menikah. Satu hal yang sampai saat ini masih belum bisa kupercaya. Begitu cepat semua berlalu.
Namanya Afifah Thahirah 1), putri dari sahabat ibuku. Bukan perkara yang mudah saat menerima tawaran ibu untuk menikah dengannya tujuh belas hari yang lalu. Aku selalu berdalih jika penghasilanku sebagai tentor pada sebuah Lembaga Bimbingan Belajar di kota Malang masih belum seberapa. Aku takut tidak bisa melaksanakan tanggung jawabku sebagai suami dengan baik. Bagaimana aku bisa memberi makan keluargaku jika penghasilanku hanya cukup untuk memenuhi kebutuhanku saja? Belum lagi untuk biaya rumah, listrik, air, gas, dll. Namun dengan penuh kasih sayang, ibu meyakinkan aku,
”Bukan kamu yang akan memenuhi kebutuhan keluargamu nanti, Le. Tapi Allah. Allah-lah yang menjamin rezeki setiap makhluk-Nya.” kata ibu. Beliau juga menyitir surat An-Nuur ayat 32 2) untuk meyakinkan aku,
”Kalau Allah yang berjanji akan mencukupkan hamba-Nya yang menikah, apa kamu masih ragu, Le?” yakin ibu dengan mantap. ”Ibu juga tidak sembarangan memilihkan calon buat kamu, Afif itu calon mutakhorijat 3) lho.” tambah ibu. Aku terdiam merenungi setiap kata yang diucapkan ibuku. Tak ada yang salah, hanya aku yang masih ragu. Ragu pada kemampuanku sendiri. Mampukah aku menjadi suami yang baik untuk seorang mutakhorijat yang tentunya paham betul hak dan kewajiban seorang istri, yang siap menjadi istri yang shalihah bagi siapapun suaminya. ”Apa aku mampu menjadi suami yang shalih buat dia?” renungku. Aku menghela nafas panjang. Aku harus berfikir positif. Bukankah aku juga pernah belajar kitab Uqudulujjain? 4) Akhirnya dengan meyakini bahwa semua pasti akan mendapat pertolongan dari Allah, aku mengiyakan tawaran manusia terbaik yang pernah kutemui ini. Inilah saatnya aku membahagiakan beliau. Dengan mengucap bismillah, aku bersedia menikah dengan Afif. Setelah mendengar kesediaanku, ibu berpesan agar meluruskan niatku hanya karena Allah,
”Semua amal yang baik itu harus diniatkan karena Allah, biar mendapat barokah. Apalagi ini pernikahan, satu gerbang menuju hidup yang sebenarnya. Satu dari sunnah Rasul untuk menyempurnakan separuh agamamu. Kalau bisa, menikahlah hanya sekali. Hormatilah istrimu karena dialah yang akan mengantarkanmu untuk lebih dekat kepada Allah. Jadikan dia sebagai satu-satunya tempat untuk menyandarkan hatimu.” tutur ibu dengan lemah lembut. Sambil menunduk aku mengangguk. Aku membenarkan semua katanya. Aku bisa merasakan betapa besar kasih sayang wanita tua ini kepadaku, bahkan hingga usiaku tidak lagi dikatakan sebagai anak-anak maupun remaja. Begitu besar jasanya dalam seluruh lini hidupku dari waktu ke waktu, yang tak mungkin kubalas dengan nyawaku sekalipun. Perlahan kutatap matanya, namun tak bisa bertahan lama. Aku kembali tertunduk. Hatiku basah, aku tak ingin beliau melihatnya di mataku.
Tak lama setelah mengetahui kesanggupanku, ibu menemui Ustadzah Rodhiyah, ibunda Afif yang juga sahabat ibu saat mondok di pesantren putri Al-Rifa’ie Gondanglegi, 30 tahun silam, untuk menyampaikan maksudnya berbesan dengan beliau. Tante Diah, demikian aku memanggil beliau, senang sekali mendengarnya. Namun beliau tidak bisa memberi jawaban. Beliau harus menanyakan pada Afif dahulu apakah sudah siap menikah dan bersedia menikah denganku. Setelah tiga hari berselang, Afif menyatakan kesediaannya untuk menikah denganku melalui bundanya. Keluargaku menyambut gembira berita tersebut. Segera setelah itu kami sekeluarga bersilaturahmi ke rumah Tante Diah untuk mengkhitbah Afif untukku. Karena sudah ada kesepakatan sebelumnya, pada acara khitbah langsung dibicarakan mengenai prosesi akad, walimah, besarnya mahar, dll. Afif meminta maharnya berupa seperangkat alat shalat dan sebuah mushaf al-Qur’an. Sebuah permintaan yang sangat tepat menurutku. Seperangkat alat shalat adalah simbol ketaatan pada Sang Khaliq, sedang Al-Qur’an adalah simbol petunjuk. Keduanya saling berkaitan, ketaatan akan sia-sia tanpa petunjuk, demikian pula sebaliknya. Namun dia meminta agar akadnya dilaksanakan satu bulan kemudian setelah dia diwisuda menjadi mutakhorijat pada Pondok Pesantren Miftahul Huda Gading tempat dia nyantri. Kami juga sepakat jika walimahnya diadakan sederhana saja dengan cuma mengundang kerabat dekat. Dengan demikian tidak perlu mencetak undangan, tapi undangan disampaikan secara lisan saja sekaligus bersilaturahmi, dari situ kami berharap agar pernikahan jadi lebih berkah. Ternyata deg-degan juga menanti hari bahagia itu datang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Best Buy Coupons